Halaqah yang ke-4 dari HSI Akademi – Aqidah 1 adalah tentang Kandungan Nilai-Nilai Tauhid (Beriman Kepada Allah) Dalam Ayat Kursi.
Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A. Hafidzahullahu Ta'ala
Materi : HSI Akademi - Aqidah1

Para Santri HSI Akademi dimanapun antum berada waffaqakumullah jami’an,
Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, pada kesempatan kali ini kembali kita dipertemukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam rangka untuk bersama mempelajari, mengkaji agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Khususnya yang berkaitan dengan masalah aqidah.
Masih kita pada pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang dikarang oleh seorang ulama, beliau adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta'ala. Dan ini adalah pertemuan yang ke-4, masih kita pada pembahasan rukun iman yang pertama yaitu Beriman Kepada Allah Azza wa Jalla. Kita langsung membaca paragraph yang selanjutnya:
Setelah beliau rahimahullah menyebutkan tentang cara beriman kepada Allah yaitu dengan mengimani Rububiyyah Allah, Uluhiyyah Allah dan nama serta sifatnya dan meng-Esakan Allah di dalam tiga perkara ini. Karena tiga perkara ini merupakan keistimewaan Allah (kekhususan Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Kemudian setelah itu beliau membawakan dalil-dalil, beliau membawakan banyak dalil yang semuanya berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan ini seperti yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, dimana beliau banyak membawakan dalil bahkan secara beruntun beliau membawakan dalil, khususnya ketika beliau menyebutkan tentang nama-nama dan sifat Allah.
Berkata Syaikh Muhammad rahimahullah:
Ini adalah kalimat yang dengannya Allah mengawali ayat ini.
Allah, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia. Lafdzul Jalallah yaitu Allah, maknanya adalah Al-Ma'bud yang disembah, diambil dari kata Al-Uluhah yang artinya adalah ibadah. Dan dia adalah nama Allah yang 'adham menurut pendapat sebagian ulama. Oleh karena itu nama ini (Lafdzul Jalallah) inilah yang paling banyak datang di dalam Al-Quran. Nama-nama yang lain digunakan untuk mensifati Lafdzul Jalallah.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan:
Maka di sini ada tauhid Uluhiyyah, beriman bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dia-lah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi. Karena di sini mengandung penafi'an dan penetapan yang dengannya seseorang dinamakan bertauhid.
Laa ilaaha (لَاۤ إِلَـٰهَ) adalah penafi'an, menafi'kan seluruh sesembahan selain Allah. Seluruh sesembahan selain Allah dinafi'kan baik berupa malaikat, rasul, matahari, api. Ilaallah (penetapan) yaitu menetapkan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Maka di sini ada kandungan tauhid uluhiyyah.
Al-Hayyu (الۡحَیُّ) adalah nama di antara nama-nama Allah yang artinya adalah Yang Maha Hidup. Kehidupan Allah adalah kehidupan yang sempurna. Al-Hayyu (الۡحَیُّ) berarti mengandung sifat Al-Hayaah dan seluruh sifat Allah adalah sempurna. Seluruh nama Allah adalah Maha Indah (paling bagus) termasuk di antaranya adalah bagus dalam segi maknanya.
Maka Al-Hayyu (nama di antara nama-nama Allah ini) mengandung sifat Al-Hayyah dan Al-Hayaah kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan yang sempurna dengan sesempurna-sempurnanya.
Apa kehidupan yang sempurna? Kehidupan yang tidak didahului dengan ketidak-adaan dan tidak diiringi dengan kebinasaan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala, Al-Awwal tidak ada sebelum Allah sesuatu apapun dan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Al-Akhir, tidak ada setelah Allah sesuatu apapun.
Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala, kehidupan Allah tidak didahului dengan tidak ada dan tidak diiringi dengan kebinasaan. Ini bedanya antara kehidupan Allah dan sifat hidup bagi Allah dengan sifat hidup yang dimiliki oleh kita sebagai manusia dan sebagai makhluk.
Kita memiliki sifat hidup, Allah Subhanahu wa Ta'ala menghidupkan kita, mengeluarkan yang hidup dari yang mati, mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Kita memiliki sifat hidup tapi hidup yang kita miliki atau sifat hidup yang kita miliki adalah sifat yang naqishah (Kehidupan yang kurang/tidak sempurna) karena kehidupan kita diawali dengan ketidak-adaan.
Kehidupan kita akan diiringi dengan kebinasaan (kematian).
Maka kita memiliki sifat hidup tapi kehidupan kita adalah kehidupan yang penuh dengan kekurangan. Adapun kehidupan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah kehidupan yang sempurna.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan:
Artinya Allah tidak butuh kepada selain-Nya. Qaimun binafsihi (Allah Maha Berdiri Sendiri) tidak membutuhkan yang lain, bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala Muqimun lighairihi (Allah Subhanahu wa Ta'ala menegakkan yang lain). Bukan hanya Qaimun binafsihi (berdiri sendiri) tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dia-lah yang juga menegakkan yang lain.
Artinya yang lain sangat membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak bisa mereka tidak membutuhkan Allah meskipun hanya sekejap mata.
'Arsy yang merupakan makhluk Allah yang paling besar yang disifati dengan Al-Adhim, Al-Majid. Diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dia sangat-sangat butuh dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kalau Allah menghendaki dia akan hancur dalam sekejap. Makhluk yang sebesar itu dia fakir dan sangat butuh dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, kalau Allah tidak menegakkannya. Kalau Allah tidak memeliharanya maka dia akan binasa, lalu bagaimana dengan yang lain.
Kursi Allah, langit, bumi dan seluruh makhluk tidak ada di antara mereka yang tidak butuh dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dia-lah Al-Qayyum yang berdiri sendiri. Dia tidak butuh dengan yang lain. Seandainya seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi semuanya binasa maka ini tidak akan mengurangi kekuasaan Allah. Allah tidak akan termudharati dengan binasanya mereka.
Allah tidak butuh dengan mereka. Merekalah yang butuh dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kita semua fakir, sekaya apapun orang yang ada di dunia ini maka dia hakikatnya adalah fakir kepada Allah. Dia butuh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menjaga dirinya, menjaga jantungnya, menjaga kesehatannya, menjaga hartanya. Kalau Allah tidak menjaga semua itu akan hancur.
Oleh karena itu seseorang isti'anah berdoa kepada Allah, tidak tertipu dengan dirinya sendiri, jangan merasa dia bisa hidup sendiri, bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Minta kepada Allah dalam urusan dunia maupun urusan akhirat, dalam urusan dunia maupun dalam urusan agama. Terus minta kepada Allah. Semakin seseorang banyak berdoa kepada Allah menunjukkan dia semakin butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang banyak berdoa berarti dia adalah orang yang merasa dirinya sangat butuh dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedikit-sedikit dia berdoa, maka Allah senang dengan yang demikian. Ini menunjukkan semakin besarnya penghambaan dia kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ada yang mengatakan bahwasanya seluruh nama-nama Allah yang dia mengandung sifat-sifat yang dzatiyyah (yang berkaitan dengan Dzat Allah) itu kembalinya kepada Al-Hayyu, seperti; Al-'Alim, Al-Qadir, As-Sami’ ini semua kembali kepada Al-Hayyu Adapun sifat-sifat atau nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mengandung sifat-sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan kehendak Allah maka kembalinya kepada Al-Qayyum. Sehingga ada di antara ulama yang mengatakan bahwasanya nama Allah yang paling agung adalah Al-Hayyu Al-Qayyum ini. Khilaf di antara para ulama.
Kemudian setelahnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan:
Dan ini menunjukkan kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak memiliki sifat kekurangan sedikitpun.
Termasuk di antaranya adalah sifat ngantuk dan tidur. Maka di antara kesempurnaan Allah, kesempurnaan kehidupan Allah, bahwasanya kehidupan Allah tidak ditimpa oleh rasa ngantuk, apalagi tidur. Karena apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki sifat ini maka ini adalah sifat kekurangan.
Apa yang terjadi dengan matahari, bumi dan seluruh benda yang ada di langit dan ada di bawah seandainya Allah Subhanahu wa Ta'ala tertimpa rasa ngantuk atau tertimpa tidur. Maka di antara kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa Allah tidak memiliki dua sifat ini (rasa ngantuk dan tidur).
Kaidah yang disebutkan oleh para ulama ini adalah termasuk sifat-sifat yang salbiyyah, sifat-sifat yang dinafi'kan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala maka kaidahnya kita nafikan, sebagaimana datangnya. Kita nafi'kan apa yang Allah nafi'kan.
Kalau Allah mengatakan,
Kemudian diiringi kita tetapkan kesempurnaan lawan dari mengantuk dan tidur tadi. Apa lawannya? Kesempurnaan kehidupan. Kesempurnaan, mandirinya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka orang yang menafi'kan rasa ngantuk dan tidur bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Diharuskan dia untuk menetapkan kesempurnaan kehidupan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kembali kepada pembahasan beriman dengan nama dan juga sifat Allah.
Jadi sifat Allah ada Tsubutiyyah dan Salbiyyah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi adalah له (milik Allah). Ini menunjukan tentang kesempurnaan (mulkiyah), kesempurnaan kepemilikan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Yang ada di langit Allah yang memiliki. Langitnya, mataharinya, bulan dan makhluk-makhluk yang lainnya yang jumlahnya tidak ada yang bisa mengetahui kecuali Allah. Yang kecil maupun yang besar.
Itu adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang memiliki. Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Kaya, dan apa yang ada di bumi juga demikian.
Baik apa yang ada di dalam bumi maupun yang ada di atasnya, yang hidup maupun yang mati yang bergerak maupun yang tidak bergerak, itu adalah ( له ) itu adalah milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini menunjukkan tentang kesempurnaan kekuasaan Allah dan kekayaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kita, sebagai manusia meskipun kita memiliki, tapi kepemilikan kita adalah sangat terbatas. Kita memiliki tapi kepemilikan kita adalah terbatas, artinya sangat sedikit dibandingkan dengan apa yang Allah miliki. Itupun suatu saat kita akan melepaskannya. Mungkin kita yang terlebih dahulu meninggal, kembali kepada Allah atau harta yang kita miliki, orang yang kita cintai meninggalkan kita terlebih dahulu. Yang jelas kepemilikan kita adalah sangat terbatas.
Adapun kepemilikan Allah, kekuasaan Allah maka itu adalah Maha dan mencapai puncaknya. Karena itu orang yang ingin berdoa, berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena semua Allah yang memiliki. Orang yang ingin rezeki, orang yang ingin mendapatkan jalan keluar dari urusannya, orang yang ingin mendapatkan jodoh, orang yang ingin menjadi orang yang berilmu, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala yang memiliki semuanya. Mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
Dan kekuasaan Allah tidak akan berkurang sedikitpun, meskipun seluruh makhluk, jin, dan juga manusia meminta kepada Allah dan masing-masing meminta perkara yang besar kepada Allah. Dan masing-masing diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala maka tidak akan mengurangi dari kekuasaan Allah sedikitpun.
Dia Allah Subhanahu wa Ta'ala (الغني) yang Maha Kaya, maka ini menunjukkan di antara sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala Dialah yang Maha Memiliki, Dialah yang memiliki segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi.
Kelak di hari kiamat ada beberapa macam syafaat. Dan ini adalah keyakinan ahlus sunnah. Apa yang dimaksud syafaat? Syafaat adalah:
Adapun di akhirat, maka Nabi, Malaikat, orang-orang yang beriman tidak akan mungkin mereka memberikan syafa'at kecuali setelah diizinkan oleh Allah. Menunjukkan tentang kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam, ketika beliau di Padang Mahsyar dan manusia meminta kepada beliau untuk memberikan syafaat. Supaya beliau Shallallahu alaihi wa Sallam meminta kepada Allah disegerakan hari balasan, maka Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam menuju ke Arsy Allah kemudian bersujud dan tidaklah beliau mengangkat kepala beliau kecuali setelah disuruh oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bersujud dan beliau memuji Allah dengan pujian-pujian yang banyak. Kemudian setelah itu barulah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan kepada beliau:
Maka di sini baru ada izin dari Allah, izin kepada Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam untuk memberikan syafaat. Ini menunjukkan syafaat di hari kiamat tidak mungkin terjadi kecuali dengan izin Allah.
Setiap hari kita membaca ayat kursi beberapa kali dalam sehari. Tapi siapa di antara kita yang merenungi isi dan makna dari ayat kursi ini. Di antara kandungannya adalah keyakinan ada syafaat di hari kiamat dan bahwasanya syafaat di hari kiamat tidak mungkin terjadi kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kalau Nabi tidak memberikan syafaat kecuali dengan izin Allah, Malaikat tidak memberikan syafaat kecuali dengan izin Allah, orang-orang yang beriman juga demikian, maka kita memintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, pada yang mengizinkan, kepada yang memiliki.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
Berarti kita meminta kepada dzat yang memilikinya, bukan meminta kepada Nabi, atau wali, atau kepada malaikat, dengan mengatakan:
Ya Rasul,
Ya Jibril, atau
Ya wali”.
Maka tidak boleh yang demikian.
Kita meminta kepada Dzat yang mengizinkan, Dzat yang memiliki syafaat tersebut
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
Mengetahui apa yang ada di depan mereka, ada yang mengatakan maksudnya adalah yang sudah berlalu, ini dianggap berarti sudah di depan. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa yang sudah berlalu, yang sudah terjadi, baik yang menimpa diri kita maupun yang menimpa orang lain.
Semuanya dengan tafsir, dengan terperinci Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui. Dengan mudah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan kepada kita di dalam Al-Quran tentang kejadian Nabi Nuh, kejadian Dzulkarnain, kejadian Maryam, kejadian Nabi Adam. Sesuatu yang sangat mudah bagi Allah untuk mengabarkan kepada kita kejadian-kejadian tadi secara terperinci.
Berbeda dengan kita. Mungkin kita sendiri yang menemui kejadiannya, merasakan kejadiannya. Sudah berlalu waktu yang lama, kita lupa, lupa terjadi pada kita, atau seandainya kita ingat tidak bisa kita memperinci. Itu ilmu kita.
Tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Yaitu apa yang akan terjadi. Belum terjadi kejadiannya. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa yang akan terjadi. Apa yang akan kita lakukan, amalan apa yang akan kita lakukan, apa musibah yang akan menimpa. Semuanya sudah diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan ini menunjukan tentang ilmu Allah yang Maha Luas.
Sehingga di dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan kabar-kabar yang akan terjadi kelak. Tentang kejadian di hari kiamat, bagaimana matahari digulung, bagaimana langit dipecah, kejadian di dalam surga, kejadian di dalam neraka, apa yang ada di padang mahsyar, bagaimana manusia mengambil kitabnya. Maka itu semuanya di bawah ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada yang samar bagi Allah, termasuk amalan manusia. Termasuk seseorang apakah masuk ke dalam surga atau masuk ke dalam neraka. Maka semuanya adalah diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ini adalah bantahan kepada sebagian aliran yang mereka menyakini bahwasanya Allah tidak tahu kecuali setelah terjadinya. Kalau sudah terjadi baru Allah tahu, kalau belum terjadi Allah belum tahu.
Kemudian setelahnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
Kita sebagai makhluk tidak mengetahui sesuatu kecuali apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki
Kita semuanya dalam keadaan bodoh.
Dalam keadaan bodoh.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Apa yang mereka tidak ketahui sebelumnya sehingga mereka menjadi tahu. Tahunya mereka (berilmunya) mereka dengan kehendak Allah. Oleh karena itu seseorang tidak takabur dengan ilmu yang Allah berikan kepadanya. Sadarlah bahwasanya ilmu yang dia miliki, kemampuan, kecerdasan yang dia miliki adalah dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah yang memberikan karunia dan kalau Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki niscaya dihilangkan ilmu tersebut dari seseorang.
Banyak di sana perkara yang kita tidak tahu. Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya mengabarkan sedikit tentang ilmu.
Kita tidak akan mampu untuk meliput semuanya. Maka ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Maha luas meliputi segala sesuatu. Adapun ilmu kita, maka kita tidak mungkin mengetahui sesuatu kecuali dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
Yang dimaksud dengan kursi Allah Subhanahu wa Ta'ala di sini, ditafsirkan oleh sebagian salaf bahwasanya kursi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah:
Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki kaki, maka kursi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah,
Ini datang dari sebagian salaf, seperti Ibnu Abbas Radhiyallahu Ta'ala 'anhuma. Maka kita yakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki sifat kaki sesuai dengan keagungannya.
Disebutkan dalam ayat ini. Bahwasanya kursi Allah itu seluas langit dan bumi. Artinya kursi lebih luas daripada langit dan bumi. Sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan tentang perbandingan antara langit yang jumlahnya tujuh dengan bumi dibandingkan dengan kursi Allah itu seperti koin, koin yang kecil yang dilemparkan di tengah-tengah padang pasir.
Padahal kalau kita berbicara tentang besarnya langit, jangan kita berbicara langit yang kedua. Langit yang pertama saja dengan seluruh makhluk yang besar yang ada di bawah langit yang pertama. Silahkan tanya kepada orang-orang yang ahli, berapa jumlah bintang yang ada di bawah langit yang pertama. Berapa jumlah makhluk yang besar tersebut di bawah langit yang pertama, maka antum tidak bisa bayangkan bagaimana besarnya langit Allah Subhanahu wa Ta'ala yang pertama ini. Kemudian bagaimana dengan langit yang kedua, yang tebal satu langit itu adalah 500 tahun perjalanan. Kemudian jarak antara langit dengan langit berikutnya adalah 500 tahun perjalanan. Berarti semakin besar langit yang kedua. Lalu bagaimana dengan yang ketiga, yang keempat, bagaimana dengan ketujuh. Kita sudah tidak bisa membayangkan bagaimana besarnya tujuh langit ini.
Disebutkan dalam hadits bahwasanya tujuh langit dan bumi ini apabila dibandingkan dengan kursi Allah maka itu seperti koin yang dilempar di tengah-tengah padang pasir. Menunjukkan tentang besarnya kursi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah mengatakan,
Kalau kursi saja sedemikian besarnya dan dalam hadits tersebut disebutkan kursi dibandingkan Arsy Allah itu seperti koin yang dilemparkan di tengah-tengah padang pasir. Kursi yang demikian besarnya tadi, yang jauh lebih besar dari langit maka kalau dibandingkan dengan Arsy itu seperti koin yang dilemparkan di tengah padang pasir.
Menunjukkan tentang besarnya Arsy, makanya Allah mensifati Arsy dengan Al-Majid, Al-Adhim dialah makhluk Allah yang paling besar, dan Dialah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang (أكبر) , Allahlah yang Maha Besar. Kalau demikian makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala, lalu bagaimana dengan yang menciptakan. Tentunya yang menciptakan, Dia lebih besar daripada yang diciptakan.
Sebagaimana kalau makhluk-Nya saja memiliki sifat Al-Adhomah, sifat besar dan ini adalah sifat yang sempurna lalu bagaimana dengan yang menciptakan makhluk tadi. Tentunya Allah Subhanahu wa Ta'ala Dialah yang lebih berhak memiliki sifat ini daripada makhluk-Nya. Maka ini menunjukan tentang kebesaran Allah.
Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
Yaitu menjaga langit dan juga bumi. Langit yang sebesar itu dengan seluruh makhluk yang ada di sana bukan sesuatu yang berat bagi Allah untuk menjaganya. Demikian pula menjaga bumi yang besar, semua ini menunjukkan tentang kesempurnaan kekuatan Allah, kesempurnaan Qudratullah.
Kita kalau membuat sesuatu yang besar sampai kapan kita bisa bertahan, sampai kapan kita bisa menjaganya, bisa memeliharanya, tapi kalau Allah Azza wa Jalla, Dialah yang menciptakan Arsy, menciptakan kursi, menciptakan langit dan juga bumi maka Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak berat untuk menjaga itu semua.
Dan ini kembali kepada kaidah bahwasanya apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala menafikan satu sifat dari diri-Nya maka kewajiban kita adalah menafikan sifat yang sudah dinafikan Allah dan kita tetapkan kesempurnaan, kebalikan dari sifat tadi. Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menafikan dari diri-Nya berat dalam menjaga langit dan juga bumi (Allah menafikan keberatan tersebut), maka kita harus menetapkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dialah yang memiliki kekuatan yang sempurna, kekuasaan yang sempurna.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menutup ayat ini dengan mengatakan,
Allah Subhanahu wa Ta'ala:
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
Allah menurunkan menunjukkan bahwasanya Allah berada di atas dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan dalam ayat yang lain,
Naik kepada siapa? Naik kepada Allah
Yang ditunjukkan oleh kalimat إِلَيْه = kepada Allah.
Menunjukkan bahwasanya Allah Azza wa Jalla berada di atas.
Dan dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bertanya kepada seorang ﺍْﻟﺠَﺎﺭِﻳَﺔ (seorang budak wanita) yang saat itu kisahnya; Muawiyyah ibnu Hakam, seorang sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam, beliau memiliki seorang budak wanita, kemudian disuruh untuk melakukan sesuatu.
Ternyata budak ini, melakukan sebuah kesalahan sehingga Muawiyyah pun marah. Akhirnya dia memukuli budak ini dan dia menyesal di dalam hatinya, kemudian datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam ingin membebaskan budak ini. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam memberikan ujian kepada budak ini. Benarkah pantas dia untuk dibebaskan. Ingin menguji apakah benar dia seorang yang beriman, karena yang dibebaskan adalah budak yang beriman. Beliau Shallallahu alaihi wa Sallam mengatakan,
Ditanya dengan dua pertanyaan. Apa hasilnya? Nabi mengatakan kepada Muawiyah,
Menunjukkan kepada kita bahwasanya orang yang beriman, apa keyakinannya? Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas.
Ketika budak ini mengatakan, “Allah berada di atas”, maka Nabi menyaksikan bahwa dia adalah orang yang beriman.
Menunjukkan sekali lagi, sikap orang yang beriman dan keyakinan orang yang beriman adalah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas. Dan ini adalah 'ijma para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Dan ini adalah fitrah, fitrah manusia berdoa kepada Dzat yang berada di atas. Kita berdoa kepada Allah mengangkat kedua tangan kita menghadap ke atas. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas. Dan ini adalah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Di samping itu makna الْعَلِي di sini adalah ketinggian di dalam masalah kedudukan. Tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya daripada Allah, masuk di dalamnya الْعَلِي adalah ketinggian di dalam kekuasaan. Dan tentunya ini adalah bantahan kepada orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala berada dimana-mana atau mengatakan Allah tidak di atas, dan Allah tidak di bawah, ini semua adalah ucapan-ucapan yang bathil, tidak sesuai dengan dalil.
Adapun keyakinan Ahlus Sunnah, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas sesuai dengan keagungan-Nya
Kemudian yang terakhir, ٱلْعَظِيم Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dialah yang Maha Besar. Tidak ada yang lebih besar dari Allah Azza wa jalla. Kalau makhluk-Nya saja seperti yang kita sebutkan, Arsy saja seperti itu besarnya, lalu bagaimana dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menciptakan, maka Dialah yang Maha Besar
Dialah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang lebih pantas untuk ditakuti. Takutlah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Besar, bukan kepada makhluk, bukan kepada direktur, bukan kepada pimpinan. Takut kita hanya kepada Allah Azza wa Jalla yang Maha Besar. Adapun mereka, mereka adalah makhluk yang kecil. Tidak ada kekuatan yang mereka miliki untuk menghadapi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Maka Syaikh rahimahullah mendatangkan ayat kursi ini karena di dalam ayat kursi ini banyak kandungan-kandungan yang berkaitan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di dalamnya ada tauhid yang terdiri dari tiga macam: Rububiyyah, Uluhiyyah maupun nama dan juga sifat Allah.
Demikian yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, dan In sya Allah kita bertemu kembali pada pertemuan selanjutnya pada waktu dan keadaan yang lebih baik.
Materi : HSI Akademi - Aqidah1

بسم اللّه الرحمن الرحيم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه
ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ وَٱلصَّلَاةُ وَٱلسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ ٱللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه
ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ وَٱلصَّلَاةُ وَٱلسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ ٱللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ
Masih kita pada pembahasan Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang dikarang oleh seorang ulama, beliau adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta'ala. Dan ini adalah pertemuan yang ke-4, masih kita pada pembahasan rukun iman yang pertama yaitu Beriman Kepada Allah Azza wa Jalla. Kita langsung membaca paragraph yang selanjutnya:
Setelah beliau rahimahullah menyebutkan tentang cara beriman kepada Allah yaitu dengan mengimani Rububiyyah Allah, Uluhiyyah Allah dan nama serta sifatnya dan meng-Esakan Allah di dalam tiga perkara ini. Karena tiga perkara ini merupakan keistimewaan Allah (kekhususan Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Kemudian setelah itu beliau membawakan dalil-dalil, beliau membawakan banyak dalil yang semuanya berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan ini seperti yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, dimana beliau banyak membawakan dalil bahkan secara beruntun beliau membawakan dalil, khususnya ketika beliau menyebutkan tentang nama-nama dan sifat Allah.
Berkata Syaikh Muhammad rahimahullah:
ونؤمن بأنه : اللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌۭ وَلَا نَوْمٌۭ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍۢ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ
Beliau rahimahullah membawakan ayat Kursi yang merupakan ayat yang paling agung di dalam Al-Quran. Allah Subhanahu wa Ta'ala sebutkan di dalam surat Al-Baqarah ayat 255. Ayat ini dibawakan oleh Syaikh rahimahullah karena di dalamnya mengandung keimanan kepada Allah. Akan kita dengarkan bersama bagaimana kandungan ayat ini terhadap tauhid (keimanan) kepada Allah.
اللَّهُ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّوم
Dan kami beriman bahwasanya “Allah tidak ada yang disembah atau berhak disembah selain Dia, yang Maha Hidup lagi Maha menegakkan (Maha berdiri sendiri)”. Ini adalah kalimat yang dengannya Allah mengawali ayat ini.
Allah, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia. Lafdzul Jalallah yaitu Allah, maknanya adalah Al-Ma'bud yang disembah, diambil dari kata Al-Uluhah yang artinya adalah ibadah. Dan dia adalah nama Allah yang 'adham menurut pendapat sebagian ulama. Oleh karena itu nama ini (Lafdzul Jalallah) inilah yang paling banyak datang di dalam Al-Quran. Nama-nama yang lain digunakan untuk mensifati Lafdzul Jalallah.
- Allah adalah Ar-Rahman
- Allah adalah Al-Halim
- Allah adalah Al-Hakim, dan seterusnya.
الَّذِي إِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ
Yaitu nama yang apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala diminta dengan menyebutkan nama tadi maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengabulkan. Sehingga banyak doa-doa yang diawali dengan Allahumma yang artinya "Ya Allah". Karena di sini ada penyebutan nama Allah yang paling besar dan ini adalah salah satu pendapat para ulama. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan:
اللَّهُ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ
"Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia.” Maka di sini ada tauhid Uluhiyyah, beriman bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dia-lah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi. Karena di sini mengandung penafi'an dan penetapan yang dengannya seseorang dinamakan bertauhid.
Laa ilaaha (لَاۤ إِلَـٰهَ) adalah penafi'an, menafi'kan seluruh sesembahan selain Allah. Seluruh sesembahan selain Allah dinafi'kan baik berupa malaikat, rasul, matahari, api. Ilaallah (penetapan) yaitu menetapkan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Maka di sini ada kandungan tauhid uluhiyyah.
ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّوم
"Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri.” Al-Hayyu (الۡحَیُّ) adalah nama di antara nama-nama Allah yang artinya adalah Yang Maha Hidup. Kehidupan Allah adalah kehidupan yang sempurna. Al-Hayyu (الۡحَیُّ) berarti mengandung sifat Al-Hayaah dan seluruh sifat Allah adalah sempurna. Seluruh nama Allah adalah Maha Indah (paling bagus) termasuk di antaranya adalah bagus dalam segi maknanya.
Maka Al-Hayyu (nama di antara nama-nama Allah ini) mengandung sifat Al-Hayyah dan Al-Hayaah kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan yang sempurna dengan sesempurna-sempurnanya.
Apa kehidupan yang sempurna? Kehidupan yang tidak didahului dengan ketidak-adaan dan tidak diiringi dengan kebinasaan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala, Al-Awwal tidak ada sebelum Allah sesuatu apapun dan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Al-Akhir, tidak ada setelah Allah sesuatu apapun.
Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala, kehidupan Allah tidak didahului dengan tidak ada dan tidak diiringi dengan kebinasaan. Ini bedanya antara kehidupan Allah dan sifat hidup bagi Allah dengan sifat hidup yang dimiliki oleh kita sebagai manusia dan sebagai makhluk.
Kita memiliki sifat hidup, Allah Subhanahu wa Ta'ala menghidupkan kita, mengeluarkan yang hidup dari yang mati, mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Kita memiliki sifat hidup tapi hidup yang kita miliki atau sifat hidup yang kita miliki adalah sifat yang naqishah (Kehidupan yang kurang/tidak sempurna) karena kehidupan kita diawali dengan ketidak-adaan.
هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَّذْكُورًا
"Kita dahulu dalam keadaan tidak ada, tidak disebut (bukan sesuatu) kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan kita dan menghidupkan kita barulah kita hidup dan kelak kita akan binasa.” [QS Al-Insan: 1] Kehidupan kita akan diiringi dengan kebinasaan (kematian).
كُلُّ نَفْسٍۢ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْت
"Setiap jiwa yang Allah hidupkan akan merasakan kematian.” [QS Al-Ankabut: 57]. Maka kita memiliki sifat hidup tapi kehidupan kita adalah kehidupan yang penuh dengan kekurangan. Adapun kehidupan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah kehidupan yang sempurna.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan:
ٱلۡقَيُّوم
"Dialah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Berdiri Sendiri.” Artinya Allah tidak butuh kepada selain-Nya. Qaimun binafsihi (Allah Maha Berdiri Sendiri) tidak membutuhkan yang lain, bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala Muqimun lighairihi (Allah Subhanahu wa Ta'ala menegakkan yang lain). Bukan hanya Qaimun binafsihi (berdiri sendiri) tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dia-lah yang juga menegakkan yang lain.
Artinya yang lain sangat membutuhkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak bisa mereka tidak membutuhkan Allah meskipun hanya sekejap mata.
'Arsy yang merupakan makhluk Allah yang paling besar yang disifati dengan Al-Adhim, Al-Majid. Diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dia sangat-sangat butuh dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kalau Allah menghendaki dia akan hancur dalam sekejap. Makhluk yang sebesar itu dia fakir dan sangat butuh dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, kalau Allah tidak menegakkannya. Kalau Allah tidak memeliharanya maka dia akan binasa, lalu bagaimana dengan yang lain.
Kursi Allah, langit, bumi dan seluruh makhluk tidak ada di antara mereka yang tidak butuh dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dia-lah Al-Qayyum yang berdiri sendiri. Dia tidak butuh dengan yang lain. Seandainya seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi semuanya binasa maka ini tidak akan mengurangi kekuasaan Allah. Allah tidak akan termudharati dengan binasanya mereka.
Allah tidak butuh dengan mereka. Merekalah yang butuh dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلْفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلْغَنِىُّ ٱلْحَمِيدُ
"Wahai manusia kalian semua butuh (fakir) kepada Allah." [QS Fathir: 15] Kita semua fakir, sekaya apapun orang yang ada di dunia ini maka dia hakikatnya adalah fakir kepada Allah. Dia butuh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menjaga dirinya, menjaga jantungnya, menjaga kesehatannya, menjaga hartanya. Kalau Allah tidak menjaga semua itu akan hancur.
أنتم الفقراء
"Kalian sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala." Oleh karena itu seseorang isti'anah berdoa kepada Allah, tidak tertipu dengan dirinya sendiri, jangan merasa dia bisa hidup sendiri, bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Minta kepada Allah dalam urusan dunia maupun urusan akhirat, dalam urusan dunia maupun dalam urusan agama. Terus minta kepada Allah. Semakin seseorang banyak berdoa kepada Allah menunjukkan dia semakin butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang banyak berdoa berarti dia adalah orang yang merasa dirinya sangat butuh dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedikit-sedikit dia berdoa, maka Allah senang dengan yang demikian. Ini menunjukkan semakin besarnya penghambaan dia kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّوم
Al-Hayyu Al-Qayum Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri dan juga menegakkan yang lain. Maka di sini ada tauhid, nama dan juga sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ada yang mengatakan bahwasanya seluruh nama-nama Allah yang dia mengandung sifat-sifat yang dzatiyyah (yang berkaitan dengan Dzat Allah) itu kembalinya kepada Al-Hayyu, seperti; Al-'Alim, Al-Qadir, As-Sami’ ini semua kembali kepada Al-Hayyu Adapun sifat-sifat atau nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mengandung sifat-sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan kehendak Allah maka kembalinya kepada Al-Qayyum. Sehingga ada di antara ulama yang mengatakan bahwasanya nama Allah yang paling agung adalah Al-Hayyu Al-Qayyum ini. Khilaf di antara para ulama.
Kemudian setelahnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan:
لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌۭ وَلَا نَوْمٌۭ
"Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak ditimpa oleh sinah (rasa ngantuk) dan juga tidur.” Dan ini menunjukkan kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak memiliki sifat kekurangan sedikitpun.
سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
"Maha suci Allah, dari apa yang mereka sifatkan.” [QS As-Saffat: 159]
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ
"Hendaklah engkau mensucikan Rabb-Mu dengan memujinya.” [QS An-Nasr: 3]
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ
"Allah Subhanahu wa Ta'ala tersucikan dari seluruh sifat kekurangan.” [Al-Hasyr:1] Termasuk di antaranya adalah sifat ngantuk dan tidur. Maka di antara kesempurnaan Allah, kesempurnaan kehidupan Allah, bahwasanya kehidupan Allah tidak ditimpa oleh rasa ngantuk, apalagi tidur. Karena apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki sifat ini maka ini adalah sifat kekurangan.
Apa yang terjadi dengan matahari, bumi dan seluruh benda yang ada di langit dan ada di bawah seandainya Allah Subhanahu wa Ta'ala tertimpa rasa ngantuk atau tertimpa tidur. Maka di antara kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa Allah tidak memiliki dua sifat ini (rasa ngantuk dan tidur).
Kaidah yang disebutkan oleh para ulama ini adalah termasuk sifat-sifat yang salbiyyah, sifat-sifat yang dinafi'kan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala maka kaidahnya kita nafikan, sebagaimana datangnya. Kita nafi'kan apa yang Allah nafi'kan.
Kalau Allah mengatakan,
لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌۭ وَلَا نَوْمٌۭ
Allah tidak ditimpa oleh rasa ngantuk dan tidur maka kita nafikan. Allah tidak memiliki sifat mengantuk dan tidur. Kemudian diiringi kita tetapkan kesempurnaan lawan dari mengantuk dan tidur tadi. Apa lawannya? Kesempurnaan kehidupan. Kesempurnaan, mandirinya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka orang yang menafi'kan rasa ngantuk dan tidur bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Diharuskan dia untuk menetapkan kesempurnaan kehidupan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌۭ وَلَا نَوْمٌۭ
Berarti di sini ada sifat salbiyyah, sifat yang dinafi'kan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kembali kepada pembahasan beriman dengan nama dan juga sifat Allah.
Jadi sifat Allah ada Tsubutiyyah dan Salbiyyah.
- Tsubutiyyah adalah sifat yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti misalnya; Al-Hayya, Al-Qayumiyyah, Al-Huluhah.
- Salbiyyah adalah sifat-sifat yang dinafi'kan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
"Bagi Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” [QS Al-Baqarah: 255] Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi adalah له (milik Allah). Ini menunjukan tentang kesempurnaan (mulkiyah), kesempurnaan kepemilikan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Yang ada di langit Allah yang memiliki. Langitnya, mataharinya, bulan dan makhluk-makhluk yang lainnya yang jumlahnya tidak ada yang bisa mengetahui kecuali Allah. Yang kecil maupun yang besar.
Itu adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang memiliki. Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Kaya, dan apa yang ada di bumi juga demikian.
وَمَا فِي الْأَرْض
"Dan apa yang ada di bumi.” Baik apa yang ada di dalam bumi maupun yang ada di atasnya, yang hidup maupun yang mati yang bergerak maupun yang tidak bergerak, itu adalah ( له ) itu adalah milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini menunjukkan tentang kesempurnaan kekuasaan Allah dan kekayaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kita, sebagai manusia meskipun kita memiliki, tapi kepemilikan kita adalah sangat terbatas. Kita memiliki tapi kepemilikan kita adalah terbatas, artinya sangat sedikit dibandingkan dengan apa yang Allah miliki. Itupun suatu saat kita akan melepaskannya. Mungkin kita yang terlebih dahulu meninggal, kembali kepada Allah atau harta yang kita miliki, orang yang kita cintai meninggalkan kita terlebih dahulu. Yang jelas kepemilikan kita adalah sangat terbatas.
Adapun kepemilikan Allah, kekuasaan Allah maka itu adalah Maha dan mencapai puncaknya. Karena itu orang yang ingin berdoa, berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena semua Allah yang memiliki. Orang yang ingin rezeki, orang yang ingin mendapatkan jalan keluar dari urusannya, orang yang ingin mendapatkan jodoh, orang yang ingin menjadi orang yang berilmu, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala yang memiliki semuanya. Mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
Dan kekuasaan Allah tidak akan berkurang sedikitpun, meskipun seluruh makhluk, jin, dan juga manusia meminta kepada Allah dan masing-masing meminta perkara yang besar kepada Allah. Dan masing-masing diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala maka tidak akan mengurangi dari kekuasaan Allah sedikitpun.
Dia Allah Subhanahu wa Ta'ala (الغني) yang Maha Kaya, maka ini menunjukkan di antara sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala Dialah yang Maha Memiliki, Dialah yang memiliki segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi.
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
"Tidak ada yang memberikan syafaat disisi-Nya kecuali dengan izin Allah.” [QS Al-Baqarah: 255 ] Kelak di hari kiamat ada beberapa macam syafaat. Dan ini adalah keyakinan ahlus sunnah. Apa yang dimaksud syafaat? Syafaat adalah:
طلب الخير للغير
Meminta kebaikan untuk orang lain. Nanti di hari kiamat: - Ada orang yang beriman meminta kepada Allah, supaya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan saudaranya dari neraka.
- Di sana ada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta kepada Allah dibukakan pintu surga supaya orang-orang yang beriman masuk ke dalam surga.
- Di sana ada syafaat untuk seluruh manusia yang meminta kepada Allah.
- Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta kepada Allah, supaya Allah menyegerakan hari pembalasan.
Adapun di akhirat, maka Nabi, Malaikat, orang-orang yang beriman tidak akan mungkin mereka memberikan syafa'at kecuali setelah diizinkan oleh Allah. Menunjukkan tentang kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِه
"Tidak ada yang memberikan syafaat di sisi Allah kecuali dengan izin Allah." [QS Al-Baqarah: 255] Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam, ketika beliau di Padang Mahsyar dan manusia meminta kepada beliau untuk memberikan syafaat. Supaya beliau Shallallahu alaihi wa Sallam meminta kepada Allah disegerakan hari balasan, maka Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam menuju ke Arsy Allah kemudian bersujud dan tidaklah beliau mengangkat kepala beliau kecuali setelah disuruh oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bersujud dan beliau memuji Allah dengan pujian-pujian yang banyak. Kemudian setelah itu barulah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan kepada beliau:
يَا مُحَمَّدُ ارْفَعْ رَأْسَكَ وَسَلْ تُعْطَهْ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ
“Wahai Muhammad angkatlah kepalamu, mintalah maka engkau akan diberikan dan berikanlah syafaat niscaya akan Aku kabulkan syafaatmu (akan diizinkan syafaatmu).” (HR Bukhari) Maka di sini baru ada izin dari Allah, izin kepada Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam untuk memberikan syafaat. Ini menunjukkan syafaat di hari kiamat tidak mungkin terjadi kecuali dengan izin Allah.
Setiap hari kita membaca ayat kursi beberapa kali dalam sehari. Tapi siapa di antara kita yang merenungi isi dan makna dari ayat kursi ini. Di antara kandungannya adalah keyakinan ada syafaat di hari kiamat dan bahwasanya syafaat di hari kiamat tidak mungkin terjadi kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kalau Nabi tidak memberikan syafaat kecuali dengan izin Allah, Malaikat tidak memberikan syafaat kecuali dengan izin Allah, orang-orang yang beriman juga demikian, maka kita memintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, pada yang mengizinkan, kepada yang memiliki.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
"Katakanlah bahwasanya syafaat semuanya adalah milik Allah.” [QS Az-Zumar: 44] Berarti kita meminta kepada dzat yang memilikinya, bukan meminta kepada Nabi, atau wali, atau kepada malaikat, dengan mengatakan:
Ya Rasul,
Ya Jibril, atau
Ya wali”.
Maka tidak boleh yang demikian.
Kita meminta kepada Dzat yang mengizinkan, Dzat yang memiliki syafaat tersebut
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Ini menunjukkan (sekali lagi) kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Berarti ini kembali menunjukkan sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kekuasaan-Nya yang luar biasa, yang sangat besar. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
يَعْلَمُ مَا بـيْنَ أَيْدِيهِم وَمَا خَلْفَهُم
"Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa yang ada di depan mereka dan apa yang ada di belakang mereka.” [QS Al-Baqarah: 255] Mengetahui apa yang ada di depan mereka, ada yang mengatakan maksudnya adalah yang sudah berlalu, ini dianggap berarti sudah di depan. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa yang sudah berlalu, yang sudah terjadi, baik yang menimpa diri kita maupun yang menimpa orang lain.
Semuanya dengan tafsir, dengan terperinci Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui. Dengan mudah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan kepada kita di dalam Al-Quran tentang kejadian Nabi Nuh, kejadian Dzulkarnain, kejadian Maryam, kejadian Nabi Adam. Sesuatu yang sangat mudah bagi Allah untuk mengabarkan kepada kita kejadian-kejadian tadi secara terperinci.
Berbeda dengan kita. Mungkin kita sendiri yang menemui kejadiannya, merasakan kejadiannya. Sudah berlalu waktu yang lama, kita lupa, lupa terjadi pada kita, atau seandainya kita ingat tidak bisa kita memperinci. Itu ilmu kita.
Tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يَعْلَمُ مَا بـيْنَ أَيْدِيهِم
Allah mengetahui apa yang sudah berlalu, yang ada di depan mereka, dengan terperinci, tidak ada yang luput bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَمَا خَلْفَهُم
"Dan apa yang ada di belakang mereka.” [QS Al-Baqarah: 255] Yaitu apa yang akan terjadi. Belum terjadi kejadiannya. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa yang akan terjadi. Apa yang akan kita lakukan, amalan apa yang akan kita lakukan, apa musibah yang akan menimpa. Semuanya sudah diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan ini menunjukan tentang ilmu Allah yang Maha Luas.
وَالله بِكُلِ شَيءٍ عَليمٌ
"Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS Al-Baqarah: 282]
كُلُّ شَيءٍ
Segala sesuatu Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Mengetahuinya. Sehingga di dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan kabar-kabar yang akan terjadi kelak. Tentang kejadian di hari kiamat, bagaimana matahari digulung, bagaimana langit dipecah, kejadian di dalam surga, kejadian di dalam neraka, apa yang ada di padang mahsyar, bagaimana manusia mengambil kitabnya. Maka itu semuanya di bawah ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada yang samar bagi Allah, termasuk amalan manusia. Termasuk seseorang apakah masuk ke dalam surga atau masuk ke dalam neraka. Maka semuanya adalah diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ini adalah bantahan kepada sebagian aliran yang mereka menyakini bahwasanya Allah tidak tahu kecuali setelah terjadinya. Kalau sudah terjadi baru Allah tahu, kalau belum terjadi Allah belum tahu.
سُبْحَـٰنَهُۥ وَتَعَـٰلَىٰ عَمَّا يَصِفُونَ
Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka sifatkan [QS Al-An’am: 100]
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ
Berarti di sini kita menetapkan sifat ilmu yang luas bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kembali pada Tauhid nama dan juga sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kemudian setelahnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
وَلَايُحِيْطُون بِشَيءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَاشَاءَ
"Dan mereka (makhluk) tidak meliputi dengan sesuatu dari ilmu Allah kecuali dengan apa yang Allah kehendaki.” [QS Al Baqarah: 255] Kita sebagai makhluk tidak mengetahui sesuatu kecuali apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki
لَا عِلْمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا
“Tidak ada ilmu bagi kami yaa Allah, kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami”
[QS Al-Baqarah: 32] Kita semuanya dalam keadaan bodoh.
وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْـًٔا
"Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam kedaan kalian tidak mengetahui sesuatu.” (QS An Nahl: 78) Dalam keadaan bodoh.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala,
عَلَّمَ ٱلۡإِنسَـٰن
“Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengajarkan kepada manusia.” [QS Al-Alaq: 5]. Apa yang mereka tidak ketahui sebelumnya sehingga mereka menjadi tahu. Tahunya mereka (berilmunya) mereka dengan kehendak Allah. Oleh karena itu seseorang tidak takabur dengan ilmu yang Allah berikan kepadanya. Sadarlah bahwasanya ilmu yang dia miliki, kemampuan, kecerdasan yang dia miliki adalah dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah yang memberikan karunia dan kalau Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki niscaya dihilangkan ilmu tersebut dari seseorang.
وَلَا يُحِيطُونَ بشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَاشَاء
"Mereka tidak bisa meliputi sesuatu dari ilmu Allah kecuali dengan apa yang Allah kehendaki.” [QS Al-Baqarah: 255] Banyak di sana perkara yang kita tidak tahu. Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya mengabarkan sedikit tentang ilmu.
وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
"Tidaklah kalian diberikan dari ilmu kecuali sedikit saja.” [QS Al Isra’: 85] Kita tidak akan mampu untuk meliput semuanya. Maka ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Maha luas meliputi segala sesuatu. Adapun ilmu kita, maka kita tidak mungkin mengetahui sesuatu kecuali dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاﻷرْضِ
"Kursi Allah ini meliputi langit dan juga bumi.” [QS Al-Baqarah: 255] Yang dimaksud dengan kursi Allah Subhanahu wa Ta'ala di sini, ditafsirkan oleh sebagian salaf bahwasanya kursi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah:
مَوْضِعُ القَدَمَيْنِ
Yang dimaksud kursi Allah adalah tempat dua kaki Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala disebutkan dalam beberapa dalil, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki ﻗﺪﻣﺎً (kaki). Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki kaki, maka kursi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah,
مَوْضِعُ القَدَمَيْنِ
Kursi Allah adalah tempat dari kaki Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini datang dari sebagian salaf, seperti Ibnu Abbas Radhiyallahu Ta'ala 'anhuma. Maka kita yakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki sifat kaki sesuai dengan keagungannya.
Disebutkan dalam ayat ini. Bahwasanya kursi Allah itu seluas langit dan bumi. Artinya kursi lebih luas daripada langit dan bumi. Sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan tentang perbandingan antara langit yang jumlahnya tujuh dengan bumi dibandingkan dengan kursi Allah itu seperti koin, koin yang kecil yang dilemparkan di tengah-tengah padang pasir.
Padahal kalau kita berbicara tentang besarnya langit, jangan kita berbicara langit yang kedua. Langit yang pertama saja dengan seluruh makhluk yang besar yang ada di bawah langit yang pertama. Silahkan tanya kepada orang-orang yang ahli, berapa jumlah bintang yang ada di bawah langit yang pertama. Berapa jumlah makhluk yang besar tersebut di bawah langit yang pertama, maka antum tidak bisa bayangkan bagaimana besarnya langit Allah Subhanahu wa Ta'ala yang pertama ini. Kemudian bagaimana dengan langit yang kedua, yang tebal satu langit itu adalah 500 tahun perjalanan. Kemudian jarak antara langit dengan langit berikutnya adalah 500 tahun perjalanan. Berarti semakin besar langit yang kedua. Lalu bagaimana dengan yang ketiga, yang keempat, bagaimana dengan ketujuh. Kita sudah tidak bisa membayangkan bagaimana besarnya tujuh langit ini.
Disebutkan dalam hadits bahwasanya tujuh langit dan bumi ini apabila dibandingkan dengan kursi Allah maka itu seperti koin yang dilempar di tengah-tengah padang pasir. Menunjukkan tentang besarnya kursi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah mengatakan,
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاﻷرْضِ
"Kursi Allah itu meliputi langit dan juga bumi.” [QS Al Baqarah: 255] Kalau kursi saja sedemikian besarnya dan dalam hadits tersebut disebutkan kursi dibandingkan Arsy Allah itu seperti koin yang dilemparkan di tengah-tengah padang pasir. Kursi yang demikian besarnya tadi, yang jauh lebih besar dari langit maka kalau dibandingkan dengan Arsy itu seperti koin yang dilemparkan di tengah padang pasir.
Menunjukkan tentang besarnya Arsy, makanya Allah mensifati Arsy dengan Al-Majid, Al-Adhim dialah makhluk Allah yang paling besar, dan Dialah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang (أكبر) , Allahlah yang Maha Besar. Kalau demikian makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala, lalu bagaimana dengan yang menciptakan. Tentunya yang menciptakan, Dia lebih besar daripada yang diciptakan.
Sebagaimana kalau makhluk-Nya saja memiliki sifat Al-Adhomah, sifat besar dan ini adalah sifat yang sempurna lalu bagaimana dengan yang menciptakan makhluk tadi. Tentunya Allah Subhanahu wa Ta'ala Dialah yang lebih berhak memiliki sifat ini daripada makhluk-Nya. Maka ini menunjukan tentang kebesaran Allah.
Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
وَلَا يَـُٔودُهُ حِفْظُهُمَا
"Dan tidak menjadikan berat bagi Allah (tidak susah bagi Allah), untuk menjaga keduanya.” Yaitu menjaga langit dan juga bumi. Langit yang sebesar itu dengan seluruh makhluk yang ada di sana bukan sesuatu yang berat bagi Allah untuk menjaganya. Demikian pula menjaga bumi yang besar, semua ini menunjukkan tentang kesempurnaan kekuatan Allah, kesempurnaan Qudratullah.
Kita kalau membuat sesuatu yang besar sampai kapan kita bisa bertahan, sampai kapan kita bisa menjaganya, bisa memeliharanya, tapi kalau Allah Azza wa Jalla, Dialah yang menciptakan Arsy, menciptakan kursi, menciptakan langit dan juga bumi maka Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak berat untuk menjaga itu semua.
Dan ini kembali kepada kaidah bahwasanya apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala menafikan satu sifat dari diri-Nya maka kewajiban kita adalah menafikan sifat yang sudah dinafikan Allah dan kita tetapkan kesempurnaan, kebalikan dari sifat tadi. Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menafikan dari diri-Nya berat dalam menjaga langit dan juga bumi (Allah menafikan keberatan tersebut), maka kita harus menetapkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dialah yang memiliki kekuatan yang sempurna, kekuasaan yang sempurna.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menutup ayat ini dengan mengatakan,
وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
"Dan Dialah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [QS Al-Baqarah: 255]. Allah Subhanahu wa Ta'ala:
الْعَلِي
Maha Tinggi; - Maha Tinggi dari sisi dzat-Nya,
- Maha Tinggi dari sisi qadr-Nya, yaitu kedudukan-Nya,
- dan Maha Tinggi dari sisi qahr-Nya, yaitu kekuasaan-Nya
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan,
إِنَّا اَنْزَلْنهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْر
"Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Quran pada malam Lailatul Qadr.” [QS Al Qadr: 1] Allah menurunkan menunjukkan bahwasanya Allah berada di atas dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan dalam ayat yang lain,
تَعْرُجُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ إِلَيْهِ فِى يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Malaikat-malaikat dan juga malaikat Jibril naik kepada-Nya. [QS Al-Ma’arij: 4]
تَعْرُجُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ إِلَيْهِ
Di hari yang kadarnya seperti 50 ribu tahun. تَعْرُج artinya adalah naik. Naik kepada siapa? Naik kepada Allah
Yang ditunjukkan oleh kalimat إِلَيْه = kepada Allah.
Menunjukkan bahwasanya Allah Azza wa Jalla berada di atas.
Dan dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bertanya kepada seorang ﺍْﻟﺠَﺎﺭِﻳَﺔ (seorang budak wanita) yang saat itu kisahnya; Muawiyyah ibnu Hakam, seorang sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam, beliau memiliki seorang budak wanita, kemudian disuruh untuk melakukan sesuatu.
Ternyata budak ini, melakukan sebuah kesalahan sehingga Muawiyyah pun marah. Akhirnya dia memukuli budak ini dan dia menyesal di dalam hatinya, kemudian datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam ingin membebaskan budak ini. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam memberikan ujian kepada budak ini. Benarkah pantas dia untuk dibebaskan. Ingin menguji apakah benar dia seorang yang beriman, karena yang dibebaskan adalah budak yang beriman. Beliau Shallallahu alaihi wa Sallam mengatakan,
أَيْنَ اللَّه
“Dimanakah Allah?” ingin mengetahui tentang keimanannya, maka ﺍْﻟﺠَﺎﺭِﻳَﺔ (budak wanita) ini mengatakan:
فِى ٱلسَّمَآء
“Allah di atas.” Kemudian beliau melanjutkan pertanyaan selanjutnya, karena dia telah lulus dengan pertanyaan yang pertama,
ومن انا ?
"Siapakah aku?" kemudian budak ini mengatakan,
ﺃَﻧْﺖَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪ
“Engkau Rasulullah.” Ditanya dengan dua pertanyaan. Apa hasilnya? Nabi mengatakan kepada Muawiyah,
ﺃَﻋْﺘِﻘْﻬَﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔ
"Bebaskan wanita (budak) ini karena dia sesungguhnya adalah seorang yang beriman.” (Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad) Menunjukkan kepada kita bahwasanya orang yang beriman, apa keyakinannya? Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas.
Ketika budak ini mengatakan, “Allah berada di atas”, maka Nabi menyaksikan bahwa dia adalah orang yang beriman.
Menunjukkan sekali lagi, sikap orang yang beriman dan keyakinan orang yang beriman adalah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas. Dan ini adalah 'ijma para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Dan ini adalah fitrah, fitrah manusia berdoa kepada Dzat yang berada di atas. Kita berdoa kepada Allah mengangkat kedua tangan kita menghadap ke atas. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas. Dan ini adalah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Di samping itu makna الْعَلِي di sini adalah ketinggian di dalam masalah kedudukan. Tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya daripada Allah, masuk di dalamnya الْعَلِي adalah ketinggian di dalam kekuasaan. Dan tentunya ini adalah bantahan kepada orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala berada dimana-mana atau mengatakan Allah tidak di atas, dan Allah tidak di bawah, ini semua adalah ucapan-ucapan yang bathil, tidak sesuai dengan dalil.
Adapun keyakinan Ahlus Sunnah, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas sesuai dengan keagungan-Nya
Kemudian yang terakhir, ٱلْعَظِيم Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dialah yang Maha Besar. Tidak ada yang lebih besar dari Allah Azza wa jalla. Kalau makhluk-Nya saja seperti yang kita sebutkan, Arsy saja seperti itu besarnya, lalu bagaimana dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menciptakan, maka Dialah yang Maha Besar
الله اكبر
Allah, Dialah yang Maha Besar, tidak ada yang lebih besar dari pada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalau Allah Subhanahu wa Ta'ala Dialah yang Maha Besar. Maka bagaimana seseorang masih takut kepada selain Allah. Dialah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang lebih pantas untuk ditakuti. Takutlah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Besar, bukan kepada makhluk, bukan kepada direktur, bukan kepada pimpinan. Takut kita hanya kepada Allah Azza wa Jalla yang Maha Besar. Adapun mereka, mereka adalah makhluk yang kecil. Tidak ada kekuatan yang mereka miliki untuk menghadapi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Maka Syaikh rahimahullah mendatangkan ayat kursi ini karena di dalam ayat kursi ini banyak kandungan-kandungan yang berkaitan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di dalamnya ada tauhid yang terdiri dari tiga macam: Rububiyyah, Uluhiyyah maupun nama dan juga sifat Allah.
Demikian yang bisa kita sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini, dan In sya Allah kita bertemu kembali pada pertemuan selanjutnya pada waktu dan keadaan yang lebih baik.
والله تعالى أعلم وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Posting Komentar untuk "Halaqah 4 – Kandungan Nilai-Nilai Tauhid Dalam Ayat Kursi"
Santun dalam berkomentar, cermin pribadi anda.